Pada suatu siang, di saat para sahabat berkumpul bersama Rasulullah saw, datanglah suatu kaum dengan bertelanjang kaki. Mereka menggunakan baju shuf yang disobek di bagian tengahnya, dan mengalungkan pedang di leher mereka.  Kebanyakan mereka dari bani Mudhar, bahkan semuanya adalah dari bani Mudhar. Melihat kefakiran mereka, raut wajah Rasulullah pun berubah. Beliau masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian beliau keluar dan menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Selesai shalat beliau berkhutbah. Di dalam khutbahnya beliau berkata, “Hendaknya seseorang menyedekahkan sebagian dari uang dinarnya, atau dirhamnya, atau bajunya, atau satu sha’ dari gandumnya atau satu sha’ dari kurmanya, ataupun setengah dari buah kurma.”

Maka majulah seorang laki-laki Anshar membawa segenggam uang yang hampir-hampir telapak tangannya tidak cukup untuk menggenggamnya. Kemudian orang-orang pun silih berganti mengikutinya. Hingga akhirnya terlihat dua tumpuk makanan dan pakaian. Wajah Rasulullah pun menjadi cerah berseri-seri, seraya bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً كاَنَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْاً وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كاَنَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أن يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئاً

Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapat pahala dari sunnah yang baik tersebut dan pahala dari orang yang mengamalkan setelahnya, dengan tidak mengurangi pahala orang yang mengamalkan-nya sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah yang jelek dalam Islam, maka dia akan mendapat dosa dari sunnah yang jelek tersebut, dan dosa dari orang yang mengerjakan setelahnya, dengan tidak mengurangi dosa orang yang mengerjakannya sedikit pun.”

Kisah di atas diangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sebuah kisah yang sarat dengan inspirasi kebaikan. Bahkan, kebaikan tersebut mampu menggerakkan orang lain untuk meniru dan mengikutinya. Hingga dia pun mendapat pahala dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya.

Demikianlah seharusnya manusia menjala-ni kehidupannya. Hidup yang hanya sekali di dunia diisi dengan berbagai kebaikan. Bukan hanya dirinya sendiri yang menikmati manfaat kebaikannya, tetapi juga orang lain. Hidupnya yang sekali mampu memberikan manfaat. Sungguh beruntunglah orang tersebut.

Warisan kebaikan

Selain amal perbuatan di dunia, Allah swt juga akan memperhitungkan peninggalan-peninggalan kita di dunia. Jika kita meninggalkan kebaikan, tentu pahalanya akan tetap mengalir tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti kebaikan tersebut.

Allah swt berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan atsar (bekas-bekas) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauhul mahfûzh)”.(Yâsîn [36]: 12)

Salah satu penafsiran وَآثاَرَهُمْ (dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan) menurut Ibnu Katsir adalah Allah menulis amal perbuatan yang telah mereka kerjakan, juga peninggalan-peninggalan yang  mereka tinggalkan untuk generasi sesudahnya. Mereka juga akan mendapat balasan atas peninggalan-peninggalan itu. Apabila yang ditinggalkan itu kebaikan, maka baginya kebaikan. Dan apabila yang mereka tinggalkan itu keburukan, maka  baginya pula keburukan. 

Dalam riwayat Sa’id bin Jabir diterangkan bahwa makna jejak yang telah mereka tinggalkan (atsar), yaitu apa-apa yang telah mereka perbuat, berupa sunah (kebiasaan), kemudian kebiasaan tersebut diikuti oleh suatu kaum sepeninggal mereka. Jika kebiasaan tersebut baik, maka dia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala kaum yang mengerjakan itu tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang mengerjakannya. Dan jika kebiasaan tersebut buruk, maka dia akan mendapatkan dosa sebanyak dosa kaum tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa orang yang mengamalkannya.

Ringkasnya, dari ayat di atas selain beramal shalih, kita juga harus mampu meninggalkan nilai-nilai kebaikan agar generasi sesudah kita mendapat warisan kebaikan pula. Sehingga kita dan generasi sesudah kita yang mengamalkan nilai-nilai kebaikan tersebut sama-sama mendapat pahala kebaikan.

Derajat yang tinggi

Puncak kemuliaan adalah jannah Allah swt. Sedang di dalam jannah kelak, derajat yang tertinggi akan diraih oleh para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan shalihin. Padahal berapa banyak jumlah mereka?

Jika pun toh jumlah para nabi tidak kita hitung, maka jumlah orang-orang shalih sebelum kita pun begitu banyak. Demikian pula, berapa banyak jumlah orang-orang yang syahid dalam peperangan Islam hingga zaman kita sekarang? Hampir tak terhitung saking begitu banyaknya.

Nah, bagaimana kita sebagai umat akhir zaman mampu meraih derajat yang tinggi, padahal sebelum kita telah jutaan umat yang meraihnya?

Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh umat akhir zaman ini untuk meraih derajat yang tinggi di surga adalah berkesinambungan dalam mengamalkan amalan yang agung. Kesinam-bungan amal inilah yang akan menimbulkan perilaku dan kebiasaan baik yang akan awet di dunia dengan diikuti oleh orang lain.

Kebiasaan baik yang ditiru oleh orang lain inilah yang akan mengalirkan pahala kepada kita meski telah meninggal dunia. Sehingga akan mampu menyusul kedudukan para pendahulu kita dari kalangan orang-orang shalih.

Manusia terbaik

Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Dua ungkapan yang menggambarkan betapa kedua binatang tersebut terkenang akan peninggalannya yang dapat dimanfaatkan. Lalu bagaimana kita sebagai manusia? Sudahkah kita meninggalkan kebaikan untuk diri kita dan juga orang lain?

Pertanyaan yang hanya diri kita yang bisa menjawabnya. Tentu, bukan sekadar jawaban retorika saja. Karena yang dibutuhkan adalah amal nyata untuk menjadi manusia yang mampu memberi manfaat kepada orang lain. Mendapat predikat manusia terbaik, berkat jutaan manfaat yang kita berikan kepada orang lain. Sebab, manusia terbaik adalah yang mampu memberikan manfaat kepada orang lain.

Rasulullah saw telah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ath-Thabarani)

Harapan kita semua untuk menjadi manusia mampu memberi jutaan manfaat kepada orang lain. Semoga! [arsada]